get app
inews
Aa Text
Read Next : Longsor Parah di Kerinci Jambi, Lebih dari 5.000 Warga di 4 Desa Terisolasi

Sepak Terjang Sultan Thaha Saifuddin, Pahlawan Nasional Jambi dalam Melawan Belanda

Rabu, 10 November 2021 - 17:01:00 WIB
Sepak Terjang Sultan Thaha Saifuddin, Pahlawan Nasional Jambi dalam Melawan Belanda
Pahlawan nasional Sultan Thaha Saifuddin diapit dua Harimau Sumatera yang merupakan tunggangannya. (Foto: MPI/Azhari Sultan)

Suasana yang dianggap tenang oleh Belanda dalam pendudukan di Muaro Tembesi, ternyata terganggu oleh penyerangan kedudukan kontroler di Sarolangun tanaggal 30 Mei 1901, tanggal 6 Juni 1901 beberapa pos ditepi Sungai Batanghari diserang pula. Lampu-lampu di seberang Muaro Tembesi berhasil dilenyapkan oleh Pasukan Sultan pada tanggal 11 Juli 1901 dan tanggal 27 Juli 1901 pasukan patrol belanda ditembaki dengan gencar oleh pasukan Sultan. Pada tanggal 13 Juli 1901 pasukan belanda yang sedang berpatroli di Singkut ditembaki sehingga satu orang juru tembak belanda mati dan dua orang lainnya menderita luka.

Serangan serangan di Singkut tersebut mendorong belanda menambah kekuatan pasukan Ambon dari batalyon garnizun Magelang. Perlawanan semakin seru walau akhirnya pasukan Sultan meninggalkan Singkut dan tidak seorang pun yang menyerah, Benteng-benteng perlawanan; Tanjung Limbur, Limbur, Merangin, Pelayangan. Sekancing. Limbur Tembesi, Datuk Nan Tigo, Kuto Rayo, Sungai Manau, Sungai Alai dan Muaro Siau secara berturut-turut berhasil diduduki pasukan belanda. Namun demikian Sultan Thaha dan pasukannya masih tetap melakukan serangan-serangan secara bergerilya.

Belanda akhimya menggerakan pasukan-pasukan yang ada di Bayung Lincir, Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Sijunjung, Tebo dan Jambi untuk melakukan serangan serentak ke wilayah Tabir setelah didapat kepastian posisi Sultan berada disana.

Tampaknya strategi penyempitan wilayah pertahanan dan perlawanan Sultan yang dilakubelanda cukup efektif menjerat posisi Sultan Thaha. Rupanya anti gerilya belanda telah mekomunikasi Sultan, belanda menerapkan serangan ovensif agresif dengan dukungan pernil yang banyak dan persenjataan yang kuat. Personil intel yang fleksibel dan akurat dari prajurit bumi (Belanda Hitam) dan isyarat seorang Demang yang dipaksa belanda membuka rahasia keberadaan Sultan Thaha.

Pasukan infantri dipimpin Letnan G Badings menyelusuri Sungai Tabir menuju Bangko Pintas tanggal 23 April 1904. Dari penapalan, Remaji dan Muaro Sungai Api (Rantau Api) juga bergerak pasukan infantry tanggal 25 April 1904. Semua pasukan tersebut serentak maju ke Betung Bedaro. Situasi tersebut sangat disadari oleh Sultan yang pada saat itu di Rumah Becak Pematang Tanah Garo.

Malam itu tanggal 26 April 1904 Sultan berpesan pada Hulubalang "Menurut gerak perasaan saya kemungkinan besar malam ini akan terjadi pertempuran. Kalau itu terjadi musuh tidak akan dapat menyentuh badan saya hidup-hidup, karna saya tidak rela kulit saya disentuh oleh musuh dan ditawan adalah pantang besar bagi saya". Dan malam itu terbukti tekad perjuangan Sultan Thaha yang sampai ketitik darah penghabisan ke bumi persada ibu pertiwi. Seiring munculnya teja diufuk timur tanggal 27 April 1904, Sultan Thaha gugur dalam kancah desingan peluru belanda dengan pedang masih tergenggam ditangan. Benarlah tak ada kata menyerah bagi sang Panglima.

Sebagai seorang Panglima, Sultan Thaha Saifuddin memegang prinsip sampai akhir hayatnya tidak pernah mau berunding dengan pihak belanda. Sultan cukup menyadari bahwa setiap perundingan dengan belanda pada intinya adalah pengekangan dan intervensi terhadap kedaulatan kesultanan Jambi

Untuk menghadapi siasat clicik belanda melalui perjanjian yang dipaksakan, Sultan melancarkan perlawanan gerilia sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya secara sporadic dibawah kepemimpinan Hulubalangnya dalam tiga front. Selain itu sikap tidak mau bertemu belanda semakin memoles sikap politik Sultan dalam menggelorakan semangat perjuanggannya yang belakangan menimbulkan keraguan atas wafatnya Sultan di medan laga Betung Bedaro.

Strategi gerilya Sultan dalam format modern temyata mendapatkan anti gerilya ternyata cukup ampuh menekan dan mempersempit posisi Sultan yang ditutup dengan serangan frontal, ovensif berkekuatan besar. Walau kemudian belanda meyakini perang dengan Sułtan adalah perang tanpa perdamaian.

Pada saat terakhir ada upaya perlindungan terhadap Sultan yang dilakukan oleh Pangeran Ratu Martadiningrat pada bulan Desember 1903. Pangeran Ratu kembali ke Jambi dan menyerahkan keris kepangeranan Ratunya "Singamarjayo" kepada Residen Palembang. Tindakan ini dilakukan karena usia Sultan sudah lanjut (87 tahun dan selama 46 tahun dari umurnya dalam perjuangan). Menurut belanda, bersama penyerahan keris Singamarjayo, Pangeran Ratu juga menyerahkan keris (duplikat) "Siginje" sebagai perlambang kekuasaan Kesultanan.

Alur cerita ini seperti pertanda takdir akan berakhimya perlawanan Sultan. Sultan Thaha memaklumi sikap proteksi terhadap dirinya dari Pangeran Ratu Martadiningrat. Sedangkan belanda menyikapi langkah itu dengan kesangsian besar bahwa tanpa keris Siginje pun Sultan Thaha akan tetap melakukan perlawanan dan dia pun tetap dipatuhi sebagai Sultan. Karnanya belanda kemudian tetap melakukan pengejaran terhadap Sultan yang tetap tidak akan menyerah sampai titik darah penghabisan.

Nilai kejuangan Sultan ini tetap relevan bagi kita dalam pembangunan daerah disegala bidang, yaitu tanpa kenal menyerah terhadap berbagai kendala dan keterbatasan. Sistem zoning dalam perkuatan sumber daya merupakan salah satu perkuatan didalam kita menyikapi wilayah kerja yang terlalu luas. Manajerial dan skill Sultan patut menjadi pegangan dalam penanganan wilayah.


Sumber: Disadur dari buku SULTAN THAHA SAIFUDDIN PAHLAWAN NASIONAL (Oleh: Drs H Junaidi T Noor MM)

Editor: Donald Karouw

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut