get app
inews
Aa Text
Read Next : Longsor Parah di Kerinci Jambi, Lebih dari 5.000 Warga di 4 Desa Terisolasi

Sepak Terjang Sultan Thaha Saifuddin, Pahlawan Nasional Jambi dalam Melawan Belanda

Rabu, 10 November 2021 - 17:01:00 WIB
Sepak Terjang Sultan Thaha Saifuddin, Pahlawan Nasional Jambi dalam Melawan Belanda
Pahlawan nasional Sultan Thaha Saifuddin diapit dua Harimau Sumatera yang merupakan tunggangannya. (Foto: MPI/Azhari Sultan)

JAMBI, iNews.id - Sultan Thaha Saifuddin merupakan pahlawan nasional yang dikukuhkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 079/TK/Tahun 1977 tanggal 24 Oktober 1977. Penganugerahan gelar itu sebagai penghargaan atas kepahlawanannya dalam tugas perjuangan membela bangsa dan negara. 

Penghargaan itu memang layak karena masa perjuangan Sultan Thaha melawan penjajah Belanda menelan waktu yang cukup lama, yaitu 46 tahun (1858-1904). Perlawanan sedemikian lama dengan luas cakupan wilayah yang melebar membutuhkan penanganan dan strategi mantap sehingga semua sumber daya dan komponen pendukung berada dalam jejaring koordinasi dapat berfungsi pada status dan kedudukannya masing-masing.

Katakanlah sebagai suatu sistem, perlawanan Sultan dalam masa yang begitu lama sudah tentu ditopang oleh kemampuan strategis dan manajerial yang mumpuni.

Selain kemampuan mendayagunakan sumber daya perangkat perang atau pasukan, dalam suatu perang gerilya dukungan lingkungan masyarakat di kantong-kantong perlawanan ikut menentukan sifat gerilya itu sendiri. Kekuatan pemukul pada serangan tiba-tiba atau penghadangan pasukan Sultan terhadap pasukan dan patrol Belanda, selain oleh kemampuan "hit and run", juga didukung kemampuan strategi dari mata-mata intelijen dan analisis kekuatan sendiri maupun lawan.

Pengejaran Belanda terhadap mobilitas kedudukan Sultan sebagai pemimpin besar pasukan Fisabilillah yang dalam waktu lama baru dapat dideteksi Belanda sejak dikuasainya Muaro Tembesi di tahun 1901. Itu pun baru tahun 1903 Belanda punya keyakinan akan posisi positif keberadaan Sultan, yaitu di Pematang Tanah Garo.

Terlepas dari legenda akan adanya tunggangan (kendaraan) dalam wujud dua ekor harimau peliharaan Sultan, yang jelas Sultan Thaha Saifuddin (STS) telah menunjukan kemampuannya sebagai seorang panglima. Seorang pemimpin perang gerilya dengan strateginya yang terkenal.

Pertama, bertemu langsung dengan (utusan) Belanda dalam setiap perundingan yang digagas Belanda. Perundingan ini sebenarnya merupakan wahana lobi dan menekan Sultan untuk takluk dan diikat perjanjian. Pantangan ini sangat mendukung komitmen Sultan pada strategi perjuangan Sultan.

Kedua, strategi perjuangan yang dipatri sumpah setia untuk memegang teguh bahwa “Sultan tidak mati". Kendati keteguhan para pengikut Sultan tersebut menimbulkan berbagai versi cerita sampai kepada ketidakpercayaan bahwa yang dimakamkan di Muaro Tebo bukan jasad STS, tetapi jasad salah seorang panglima atau pengawalnya, Belanda jelas tidak dapat memastikan pula karena secara utuh. Mereka tidak mengenal wajah dan sosok STS karena Sultan berpantang berhadapan muka dengan Belanda.

Ketiga, strategi pemindahan secara cepat dan persebaran front perlawanan menunjukan stensel perlawanan secara terorganisir yang terangkai dalam komunitas fleksibel dan langsung baik melalui tipe berantai maupun melalui cara tak kenal lelah.

Keempat, mengadakan hubungan "perdagangan" dengan pihak perwakilan dagang atau perwakilan negara-negara seperti Turki, Inggris atau Amerika yang ada di Semenanjung Malaka melalui sistem barter hasil hutan dan perkebunan dengan peralatan persenjataan maupun suplai kebutuhan hidup Sultan dan pasukannya di daerah uluan DAS Batanghari.

Penggunaan kamuflase perahu/kapal dagang (kapal canon/kenen) ternyata cukup ampuh untuk melewati barikade dan patrol Belanda di DAS Ilir Batanghari, termasuk pusat markas Belanda di Jambi maupun di Muaro Kumpeh.

Simpul-simpul pasokan kebutuhan Sultan dipegang oleh Pangeran Wiro Kesumo selain sebagai anggota Pepatih Dalam, juga terakhir adalah sahabat dan besan Sultan Thaha Saifuddin serta beberapa orang lainnya.

Alasan perlawanan Sultan Thaha Saifuddin bukan saja oleh adanya markas Belanda di Kuaro Kumpeh atau tambahan kekuatan pasukan Belanda dari Batavia ke Muaro Kumpeh dibawah pimpinan Mayor Van Langen dengan 30 buah kapal perang dan 800 personel serdadu Belanda tanggal 25 September 1858. Tetapi jauh melebihi itu.

Editor: Donald Karouw

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut