Sepak Terjang Sultan Thaha Saifuddin, Pahlawan Nasional Jambi dalam Melawan Belanda

Tekanan penguasaan Belanda melalui perjanjian Sungai Baung (Rawas) tanggal 14 November 1833 dengan Letkol Michiels ditandatangani Sultan Muhammad Fachruddin begitu menyakitkan hati Sultan Thaha.
Betapa tidak, Belanda menguasai dan melindungi Kerajaan Jambi. Bahkan penguasaan itu memberi kebebasan kerajaan Belanda untuk mendirikan tempat pertahanan di mana saja yang menurut mereka strategis dan dapat mendukung kepentingan Belanda. Dampak perjanjian ini berdirilah markas patrol Belanda di Muaro Kumpeh yang sejak semula dipandang strategis sebagai pintu keluar masuknya pelayaran DAS Batanghari dan cukup taktis untuk pengawasan pusat pemerintahan Kesultanan Jambi. Baik strata pertahanan maupun ekonomi melalui perdagangan hasil humi, hasil perkebunan dan hasil hutan Jambi .
Perjanjian Sungai Baung ini rupanya oleh penguasa Belanda Résiden Palembang, yaitu PROEFORIUT dikukuhkan kedalam bentuk traktat pada tanggal 15 Desember 1834, sekaligus mempertegas ikatan penguasaan yang lebih melebar dengan detail menambah ekopansi sebagaimana termuat kemudian dalam perjanjian tambahan yang kemudian disyahkan oleh parlemen Belanda tanggal 21 April 1835.
Perjanjian ini ditandatangani Sultan Muhamad Fachruddin dan Pangeran Ratu Martaningrat Abdurrahman serta disaksikan para pembesar kerajaan dan keluarga istana Tanah Pilih Pemerintah Belanda
Perjanjian tanggal 21 April 1835 tersebut memberikan kewenangan memungut cukai eksport-import barang-barang dan untuk itu Sultan dan Pangeran Ratu akan menerima f 8000 setahun sebagai ganti rugi. Pemerintah Belanda memiliki hak monopoli penjualan garam. Yang menyakitkan dan ironinya dalam perjanjian tersebut dinyatakan Jambi menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Selain itu pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam kerajaan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat kecuali jika ada penggelapan yang berkenaan dengan cukai yang menjual hak dan kewenangan pemerintah Belanda.
Aplikasi perjanjian Sultan Jambi dengan pemerintah Belarda itu menjadi bahan kajian dan rekaman perbandingan dalam diri Sultan, baik ketika menuntut ilmu di Tanah Rencong Aceh Darussalam maupun dari perjalanan muhibahnya ketika Sultan diangkat sebagai Pangeran Ratu mencampingi pamannya yang dinobatkan sebagai mpengganti Sultan Muhamad Fachruddin yaitu Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855).
Pada masa Raden Thaha menjadi Pangeran Ratu, dia menyaksikan dan merasakan campur tangan Belanda terlalu jauh, yang berlindung pada perjanjian-perjanjian yang ditandaiagani ayahnya (Sultan Muhamad Fachruddin). Jiwa patriotnya mulai menggelembung. Tanpa musyawarah dengan sang pamannya sebagai Sultan, Pangeran Ratu Thaha Saifuddin mengadakan kontrak dengan misi dagang Amerika (Walter Gibson) dalam pembelian senjata. Perjanjian ini merupakan wujud persiapan perlawanannya untuk mengusir Belanda dari Jambi.
Upaya Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam mempersiapkan perlawanan bersenjata dan pembangkangan serta penghindaran pemungutan cukai diketahui Belanda Walter Gibson ditangkap dan dibawa ke Batavia. Asisten Residen Strom Vans' Graven Sande dari Palembang dikirim untuk menginspeksi kantor Belanda di Muaro Kumpeh dan menghadap Sultan Abdurrahman Nazaruddin untuk memperingati Sultan agar mematuhi perjanjian (1834,1835) dan melarang memperdagangkan alat persenjataan.
Peringatan ini tidak digubris. Orang Jambi tetap melakukan penghindaran diri dari pemungutan cukai. Orang Palembang tetap mengadakan hubungan dalam jual-beli bahan peledak, mesiu dan senjata api. Pengawasan Belanda terhadap Kesultanan Jambi semakin keras dan ketat. Akibatnya tekanan-tekanan Belanda itu menimbulkan ketidaksenangan dan menunaikan perlawanan, kendati masih terselubung karena perlawanan tersebut tidak diperkuat oleh peralatan dan perlengkapan yang sebanding dengan peralatan Belanda.
Dengan demikian, pada awalnya perlawanan rakyat Jambi dengan Belanda masih bersifat pemboikotan penjualan hasil bumi, hasil hutan maupun perdagangan lain yang dimonopoli Belanda. Akibat pemboikotan ini, kantor dagang di Muaro Kumpeh ditutup karena tidak ada transaksi penjualan hasil bumi kepada Belanda.
Sudah tentu kondisi ini tidak diinginkan Belanda. Berbagai upaya untuk mengadakan perjanjian baru terus dilakukan kendati tidak mendapat tanggapaan, apalagi Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam kewenangannya sebagai Perdana Menteri semakin membatasi kemungkinan diadakannya pertemuan dengan Belanda.
Editor: Donald Karouw