Catatan Kritis Akademisi terhadap RUU KUHAP
1. Penerapan Asas Dominus Litis dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan
RUU KUHAP memperkenalkan asas dominus litis, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada kejaksaan dalam proses penyidikan. Misalnya, Pasal 12 ayat (11) menyatakan bahwa jika dalam 14 hari setelah menerima permintaan untuk mulai melakukan penyidikan penyidik tidak melakukan tugasnya, maka pelapor atau pengadu dapat meminta kejaksaan mengambil alih kasus tersebut.
Hal ini berpotensi menimbulkan konflik antara lembaga penegak hukum, mengganggu independensi penyidik, dan menciptakan ketidakpastian hukum dan rawan untuk di main main kan perkara tersebut.
2. Reduksi Diferensiasi Fungsional Antar Lembaga Penegak Hukum
Penerapan asas dominus litis dalam RUU KUHAP dapat mengaburkan batas antara fungsi penyidikan oleh kepolisian dan penuntutan oleh kejaksaan. Hal ini dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan melemahkan sistem checks and balances dalam penegakan hukum.
3. Potensi Penyalahgunaan Kewenangan oleh Kejaksaan
Pemberian kewenangan yang besar kepada kejaksaan tanpa mekanisme pengawasan yang memadai dapat membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dikhawatirkan dapat digunakan untuk kepentingan politik tertentu, seperti menekan lawan politik atau melindungi kroni-kroni yang terlibat dalam kasus pidana.
Catatan Kritis Akademisi terhadap RUU Polri
1. Perluasan Kewenangan Tanpa Mekanisme Pengawasan yang Jelas
RUU Polri memberikan kewenangan luas kepada Polri dalam pengawasan ruang siber, termasuk pemblokiran dan pembatasan akses internet, serta kewenangan penyadapan tanpa mekanisme izin pengadilan yang jelas. Hal ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan privasi masyarakat.
2. Penguatan Fungsi Intelijen Polri dan Risiko Dwifungsi
RUU Polri memperluas kewenangan intelijen Polri, termasuk melakukan “penggalangan intelijen” dan “penangkalan dan pencegahan” terhadap aktivitas yang dianggap mengancam kepentingan nasional. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ala Orde Baru.
3. Minimnya Mekanisme Pengawasan Terhadap Polri
RUU Polri tidak secara tegas mengatur mekanisme pengawasan terhadap institusi Polri dan anggotanya. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang seharusnya berperan sebagai lembaga pengawas dinilai tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menjalankan fungsi pengawasan secara efektif.
4. Proses Pembahasan yang Minim Partisipasi Publik
Proses pembahasan RUU Polri terkesan terburu-buru dan minim partisipasi publik. RUU ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2020-2024, namun tiba-tiba diinisiasi oleh DPR tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
Secara general, analisis umum dari akademisi berpendapat bahwa kedua RUU ini menunjukkan kecenderungan perluasan kewenangan aparat penegak hukum tanpa disertai dengan mekanisme pengawasan yang memadai. Hal ini berpotensi mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Editor : Rizqa Leony Putri
Artikel Terkait