Menurutnya, promosi kawin anak adalah pengingkaran terhadap hak anak yang mengarah pada praktik eksploitasi anak dan perdagangan orang, bertentangan dengan jaminan hak konstitusional anak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28B UUD 1945 yang menyatakan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
"Pelanggaran yang menjadi praktik sebagian orang di Indonesia ini harus disikapi oleh semua pihak, termasuk oleh kalangan agamawan karena praktik-praktik ini seolah-olah dilegalisasi oleh pandangan keagamaan," tuturnya.
Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sisi Sayyidatul Insiyah menambahkan, aparat penegak hukum harus sungguh-sungguh melakukan penegakan hukum atas tindak pidana yang berpotensi menghancurkan generasi mendatang.
Sebagaimana dalam keyakinan yang dituangkan dalam website www.aishaweddings.com, mereka meyakini bahwa perkawinan anak adalah solusi dari segala persoalan. "Pandangan konservatif dan misoginis yang dituangkan dalam profil Aisha Wedding adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan, pembenaran eksploitasi anak, dan pelembagaan eksploitasi seksual dengan mempromosikan perkawinan anak, nikah sirri dan poligami," tuturnya.
Karena itu, Samindo-SETARA Institute, yang merupakan wadah anak-anak milenial, mencemaskan masa depan generasi muda yang dijejali doktrin-doktrin keagamaan diskriminatif sebagaimana misi dari Aisha Weddings.
Dia berharap DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk memberikan perlindungan paripurna pada anak-anak dan perempuan yang rentan dari kekerasan dan diskriminasi.
"Kami mendorong orang tua yang telah menjadi korban dari iklan Aisha Weddings untuk melaporkan ke Polda Metro Jaya demi menyelematkan anak Indonesia dan perempuan Indonesia," katanya.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait