LEBAK, iNews.id - Seorang penyandang difabel di Lebak, Banten, diduga ditolak masuk sekolah negeri akibat kondisinya. Padahal, pemuda tersebut merupakan siswa berprestasi. SMK yang menjadi pilhan terakhirnya pun menolaknya dengan alasan kuota sudah penuh.
Rofi Fardan (16) siswa asal SMP Negeri 1 Rangkasbitung, Lebak, Banten, hanya bisa pasrah. Harapannya untuk bisa melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi harus pupus lantaran tak ada sekolah yang mau menerimanya. Ini diduga lantaran kondisi Rofi yang seorang penyandang difabel.
Padahal saat masih duduk di bangku SMP, anak dari pasangan Sutisna dan Gita tersebut di dikenal sebagai siswa berprestasi. Dia menjuarai berbagai perlombaan dengan menggunakan kursi roda. Tak hanya itu, Rofi juga dikenal sebagai anak yang rajin dan pintar sehingga sering menjadi juara kelas.
Sebelumnya Rofi sudah mendaftar di beberapa SMK negeri di Rangkasbitung. Namun tanpa alasan yang jelas, dirinya tidak diterima di sekolah tersebut. Terakhir, Rofi mendaftar di SMK PGRI Rangkasbitung. Namun upaya terakhirnya itu pun kandas setelah sekolah tersebut lagi-lagi menolaknya.
“Pertamanya kan ke SMK 2, tapi karena pendaftarannya katanya salah jadi tidak diterima. Selanjutnya disuruh ke SMK PGRI. Tapi di sana juga ditolak. Padahal saya pengen sekolah lah, di mana saja yang penting bisa sekolah,” kata Rofi saat ditemui di rumahnya, Rabu (4/7/2018).
Rofi mengaku tidak tahu alasan SMK PGRI ikut-ikutan menolak dirinya. “Katanya saya masih bisa di SMK 2. Jadinya ditolak,” ucapnya.
Sementara itu, pihak SMK PGRI mengaku alasan mereka menolak Rofi yakni lantaran kuota sekolah sudah tidak mencukupi. “Bukannya kami menolak siswa, namun karena kami disesuaikan dengan kuota. Sementara kami hanya punya sembilan ruang kelas. Dan itu sudah penuh semua,” ucap Petugas Bidang Kesiswaan SMK PGRI, Wardatul Zannah.
Pihak sekolah juga membantah jika Rofi ditolak karena kondisi disabilitas yang disandangnya. “Tadi juga banyak orang tua siswa yang datang tapi kami tidak bisa terima karena kuota memang sudah penuh,” kata Wardatul.
Saat ini Rofi hanya bisa pasrah dengan kondisi yang dia alami. Ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci dan sang ayah yang bekerja sebagai buruh serabutan, tak mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta. Saat ini Rofi hanya bisa berdiam diri di rumah dan terancam tidak bisa bersekolah untuk melanjutkan cita-citanya sebagai ahli komputer.
Editor : Himas Puspito Putra
Artikel Terkait