Menurut Menkop UKM, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya. Untuk itu, pemerintah berupaya membenahi dan berkoordinasi dengan Mensesneg untuk langkah ke depan.
"Sebab, sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Presiden Jokowi pun sudah mengatakan secepatnya ada Undang-Undang yang mengaturnya. Presiden sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online, yang dalam waktu dekat akan dibahas. Itu termasuk yang sudah kita usulkan Permendag Nomor 50 Tahun 2020 kan sudah selesai tinggal ditetapkan saja," kata Menteri Teten.
Tak hanya itu, Menkop UKM juga merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. Sebab, di Cina sendiri, mereka menerapkan model barang masuk di sana tidak boleh di bawah HPP.
"Kalau kita terapkan itu, bisa melindungi industri dalam negeri," tutur Menkop UKM.
Penurunan Produksi dan PHK
Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, saat ini perdagangan global memang sedang tidak baik-baik saja. Cina yang merupakan produsen atau manufaktur besar dunia, banyak barangnya yang tak terserap di negara-negara besar seperti di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, sehingga mereka berusaha mencari pasar baru yang trade barrier-nya lemah.
"Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan market, karena Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar nomor empat dunia. GDP kita masih lebih baik dan inflasi Indonesia cukup terkontrol dibanding negara lain. Tak heran, jika Indonesia dibidik menjadi salah satu pangsa pasar. Jika tidak pintar-pintar memasang trade barrier, ekosistem ini akan hancur berimbas ke hulu," katanya.
Selanjutnya, Ketua Umum IPKB Nandi Herdiaman menambahkan, adanya serangan impor yang harganya di bawah pasar, mendorong rendahnya permintaan termasuk yang terjadi di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Dia mengatakan, imbasnya terjadi penurunan produksi bukan hanya satu atau dua pabrik, bahkan ribuan. Ditambah dampak pengangguran yang mencapai jutaan.
"UMKM tekstil sudah memproduksi sesuai dengan permintaan pasar, tetapi akhir-akhir ini marak impor barang-barang tersebut membuat bahan menumpuk. Kami kesulitan menjual hampir 1,5 juta meter bahan menumpuk di pabrik sementara produksi masih berjalan. Kami juga tidak tahu sampai kapan masih bisa produksi, mohon bantuan untuk perlindungan pasar kami," ucap Owner PT Santosa Kurnia Jaya Dudi Gumilar.
Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jabar Rachmat Taufik G menambahkan, angkatan kerja di Jabar mencapai 24 juta orang, sebesar 70 persennya bukan dari pekerja formal. Hal ini merupakan akibat dari banyak pabrik yang kapasitas produksinya menurun, lantaran menurunnya daya beli, semakin menambah ancaman PHK.
"PHK secara resmi kecil, tetapi dari data BPJS Ketenagakerjaan yang mengambil JHT artinya yang tak bekerja lagi mencapai lebih dari 150 ribu orang," ujar Rachmat.
Editor : Anindita Trinoviana
Artikel Terkait