BATAM, iNews.id – Perjuangan Shelvia (31) untuk bertemu anak semata wayangnya, Ezekiel Gionata Purba, sungguh memilukan. Jalan berliku dan terjal harus dilaluinya demi bertemu sang anak yang terpisahkan hampir setahun ini.
Perempuan asal Bekasi, Jawa Barat itu tak bisa bertemu anak pertamanya lantaran dibawa pergi mantan suaminya, MD, setelah keduanya resmi bercerai.
Berbagai upaya telah dilakukannya untuk bisa membawa kembali anaknya. Termasuk saat berusaha hendak mengambil buah hatinya dari mantan suaminya di sebuah hotel di Batam.
Namun upaya itu kandas. Bahkan kenyataan pahit harus dia terima. Shelvia mengaku mendapat tindakan kekerasan (KDRT) oleh sang suami.
Dia pun melayangkan laporan dugaan KDRT di Polda Kepulauan Riau (Kepri) dan laporan dugaan penerbitan paspor baru anak dengan pemberian keterangan tidak benar dilakukan oleh mantan suami di Polda Lampung.
Laporan dengan nomor STTLP/90/lX/2022/SPKT- Kepri tertanggal 14 September 2022 menjadi penegasnya. Namun menurutnya, hingga kini belum ada perkembangan berarti atas laporannya tersebut.
Kejadian itu bermula ketika anaknya yang masih berusia 1 tahun 8 bulan ‘dirampas’ sang suami di rumah korban sekitar September 2022. Kejadian bermula pada 7 September 2022 di Bekasi, sebelum hari kejadian berlangsung, ibu mantan suaminya mengirimkan pesan WhatsApp bahwa ia dan bapak mertua akan bermain ke rumahnya.
Pada saat itu, DM ikut datang dan merampas buah hatinya. "Begitu dibawa dan ditanya di mana, dia (DM) bohong terus, tidak memberikan informasi lokasi sama sekali," ungkap penasihat hukum Shelvia, Bernard Tifaona dalam keterangan pers, Selasa (29/8).
Shelvia menyampaikan, ‘perampasan’ tersebut terjadi karena pada saat mediasi pertama kali berlangsung di Batam, sang suami mengatakan bahwa anak terlihat kurus tak terurus. Hal itu menjadi alasan mengambil secara paksa bayi laki-laki tersebut yang masih membutuhkan ASI.
Sebagai informasi, Shelvia menikah dengan mantan suami (DM) pada Agustus 2020. Setelah hidup bersama lebih dari 10 bulan, Shelvia dikaruniai buah hati seorang laki-laki pada Mei 2021. Di Pengadilan Negeri Kota Tangerang sekitar (8/2) sudah memberikan putusan cerai dan hak asuh anak sepenuhnya pada Shelvia.
"Bayi itu masih memerlukan ASI karena pada saat diambil paksa masih umur 1 tahun 4 bulan, sehingga pada saat diambil yang sangat saya khawatirkan anak saya makan apa, minum apa," ungkap Shelvia.
Untuk dapat bertemu kembali dengan anaknya, Shelvia dan penasihat hukum sudah mencari keadilan ke berbagai lembaga dan instansi hingga Komas HAM, Komnas Anak, KPAI, Kementerian PPPA, Kemenlu, Imigrasi.
Bahkan Komas HAM juga sudah sempat mengirimkan surat ke Polda Kepri atas kasus dugaan KDRT yang dialami oleh ibu Shelvia.
Bernard Tifaona mengatakan, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam perkara ini sudah keluar beberapa waktu lalu. Dia berharap kepada mantan suami Shelvia agar memiliki niat baik untuk mengembalikan buah hatinya kepada kliennya.
Sementara itu, Komisi VIII DPR RI menerima audiensi perwakilan Perkumpulan Pejuang Anak Indonesia (PPAI) yang mengadukan permasalahan hak asuh anak.
"Kami terbuka untuk menerima masukan dan aspirasi mengenai kekosongan hukum atas anak korban perceraian di seluruh Indonesia," kata anggota Komisi VIII DPR RI IGN Kesuma Kelakan dikutip dari Antara.
Dia menyatakan akan membahas dan mendiskusikan sejumlah kasus hak asuh anak ini dengan para anggota Komisi VIII DPR RI.
Ia juga meminta data lengkap serta kronologi kasus yang dialami para perwakilan PPAI dan hasil audiensi mereka di Kementerian Hukum dan HAM.
"Hal itu akan menjadi bahan kami di DPR untuk gerak cepat dalam memposisikan kepentingan ibu dan bapak. Secepatnya kami akan berupaya semaksimal mungkin," katanya.
Sementara anggota Komisi VIII DPR RI Matindas J. Rumambi mengatakan dalam sistem hukum di Indonesia, setiap kasus hukum diselesaikan melalui putusan pengadilan.
"Itulah yang menjadi sandaran kita. Kalau ada putusan itu bisa diinventarisir apa yang menjadi hak kedua pihak," kata Matindas.
Ia mengatakan pengadilan juga mempertimbangkan soal kesejahteraan, kepentingan anak, dan kemampuan orang tua dalam membuat putusan.
Matindas mengatakan turut berempati terhadap perasaan para orang tua yang memperjuangkan anaknya tersebut.
Menurutnya, jika terdapat putusan pengadilan yang tidak dilaksanakan dengan baik, pihaknya akan meneruskan informasi tersebut kepada Komisi III DPR RI yang membidangi hukum.
"Kami akan menginventarisir itu, apa yang menjadi problem ibu dan bapak, tentang pengabaian dalam menjalankan putusan pengadilan," ujarnya.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait