SOE, iNews.id - Suasana keceriaan menghiasi sore hari anak-anak warga Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (23/3/2022). Raut muka penuh kegembiraan jelas terpancar dari wajah mereka.
Tidak hanya anak-anak. Hal serupa juga tampak pada orang dewasa. Ya, kegembiraan yang menyelimuti segenap warga Desa Kesetnana itu seiring dengan rencana kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kamis (24/3/2022) besok.
Bagi warga desa yang sudah dewasa, keceriaan menyambut Presiden dengan harapan akan memperbaiki kondisi ekonomi. Dengan kedatangan Presiden, diharapkan akan ada perubahan ke arah kemajuan bagi desa mereka.
Wlem Kono, salah satu warga desa yang sudah berusia 36 tahun tampak berbinar mendengar kabar tersebut. Keceriaan suami dari Martha Koan (28) itu lantaran dia akan bertemu dengan orang nomor satu di negeri ini.
Dengan penghasilannya yang tidak seberapa sebagai pengemudi ojek, ayah empat anak itu berharap kunjungan Jokowi bisa mengubah kehidupannya di masa yang akan datang.
Harapan Wlem dan warga desa lainnya memang cukup beralasan. Bagaimana tidak, Desa Kesetnana selama ini dikenal sebagai desa yang memiliki risiko stunting. Atas dasar itu pula, Jokowi dijadwalkan berkunjung langsung pada Kamis besok.
Fakta Desa Kesetnana menjadi daerah berisiko stunting tidak terlepas dari kondisi yang terjadi. Selain kesulitan mendapatkan akses air bersih, faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan menjadi potensi kerawanan terhadap kesehatan bagi warga setempat. Bahkan dalam hal kesehatan, diperoleh data hampir sebagian besar warga Desa Kesetnana tidak memiliki jamban yang layak.
Desa Kesetnana sebenarnya bukan satu-satunya daerah di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang kondisinya cukup membuka peluang tumbuh suburnya stunting. Kesetnana sekadar gambaran umum dari 278 desa yang ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan prevalensi stunting tinggi.
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka prevalensi stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan mencapai 48,3 persen. Angka tersebut sekaligus sebagai yang tertinggi di Nusa Tenggara Timur khususnya, Indonesia umumnya.
Berdasarkan data SSGI di tahun yang sama yakni 2021, NTT masih memiliki 15 kabupaten dengan kategori ‘merah’ dalam hal kasus stunting. Pengkategorian status ‘merah’ tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya yang masih masih di atas 30 persen. Kunjungan Presiden ke ke Timor Tengah Selatan pada khususnya, dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya, sebagai bentuk perhatian penuh untuk penanganan persoalan angka stunting yang tinggi.
Berbicara kategori daerah berkaitan dengan stunting, 15 kabupaten berstatus merah di NTT terdiri atas Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, memiliki prevalensi di atas 46 persen
Adapun sisinya, yakni 7 kabupaten dan kota berstatus ‘kuning’ dengan prevalensi 20 hingga 30 persen. Daerah-daerah itu yakni Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah.
Dengan demikian, tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni ber-pravelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.
Fakta tersebut tentunya sudah seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sebagai bentuk keseriusan, pemerintah telah menunjuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting berdasarkan Perpres Nomor 72/2021.
Namun, BKKBN tidak bisa bergerak sendiri. Perlu adanya gotong royong, agar harapan mengikis angka stunting, bisa dicapai. Demikian pula halnya Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak bisa ‘berjuang’ sendiri untuk mengatasi pengentasan stunting.
“Sebagai salah satu unsur pentahelix dalam wujud konvergensi percepatan penurunan stunting, mitra kerja memiliki peran dan kontribusi bersama pemerintah. Timor Tengah dan NTT sengaja menjadi titik tumpu kunjungan Presiden Joko Widodo mengingat NTT merupakan provinsi prioritas penanganan stunting dengan prevalensi 37,8 persen di tahun 2021, tertinggi dari angka rata-rata prevalensi stunting semua provinsi di tanah air yang mencapai 24,4 persen,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.
Dari hasil penelusuran BBKBN, tingginya angka stunting di NTT, tidak hanya karena persoalan kesehatan dan kekurangan gizi saja. Di luar itu, tingginya kasus stunting di NTT juga dipicu kesulitan mendapatkan akses fasilitas pelayanan kesehatan.
Faktor kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan serta pola asuh, semakin membuat peningkatan kasus stunting ini ‘tumbuh subur.’ Melihat sejumlah faktor sebagai pemicu, mutlak dibutuhkan langkah konkret guna mempercepat penurunan angka stunting. Pelibatan mitra kerja untuk memperluas jangkauan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan sasaran dan potensi yang dimiliki mitra kerja, harus menjadi fokus bersama.
Langkah-langkah pencegahan stunting di NTT sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa kalangan. Yayasan Seribu Cita Bangsa (1000 Days Fund) adalah salah satu pihak yang sejak 2018 lalu meluncurkan program pencegahan stunting.
Program yang telah dilakukan yakni melalui intervensi di tingkat desa, dengan menggunakan alat edukasi yang inovatif dan mudah disebar, seperti poster pintar serta selimut cerdas agar mudah dipahami warga. Dengan dukungan donor seperti dari Yayasan Ishk Tolaram, lembaga ini menyasar desa-desa terpencil di NTT, tidak terkecuali di Timor Tengah Selatan.
Jessica Arawinda selaku Ketua Yayasan tersebut mendapati fakta bahwa warga setempat belum familiar dengan istilah stunting. Hal itu seperti pengalamannya saat pertama kali datang pada 2018 lalu.
“Ketika pertama kali kami datang ke desa tempat kami melaksanakan program untuk pertama kalinya, sebagian besar masyarakat tidak mengenal apa itu stunting, apa kaitannya dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan dan bagaimana caranya mengoptimalkan pertumbuhan anak serta mencegah mereka dari stunting,” katanya.
“Program pertama kami menunjukan perubahan perilaku dan kebiasaan orangtua dan pengasuh yang signifikan. Intervensi dalam bentuk informasi dan pengetahuan mendorong perubahan perilaku yang berkelanjutan,” ujar Jessica.
Selain Yayasan Seribu Cita Bangsa, upaya pencegahan stunting juga dilakukan Tanoto Fundation. ECED Adviser Tanoto Foundation Widodo Suhartoyo mengakui bahwa kerjasama kolaboratif dengan BKKBN sangat strategis. Kerjasama itu, mencoba menyelesaikan masalah keterbelakangan pendidikan dari sektor hulu.
“Jika masalah stunting bisa kita atasi dari awal maka kami percaya tingkat pendidikan masyarakat juga akan meningkat. Tanoto sangat peduli dengan penguatan Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang menjadi garda depan BKKBN dalam upaya akselerasi percepatan penurunan stunting dan komunikasi perubahan perilaku di masyarakat,”jelas Widodo.
Dengan kerjasama tersebut, BKKBN bersama para mitra kerja optimistis, target penurunan prevalensi stunting dari 48,3 persen pada 2021 lalu, bisa menurun menjadi 43,01 persen di akhir 2022. Penurunan, akan kembali terjadi hingga di angka prevalensi 36,22 persen pada 2023. Dengan kerjasama itu, penurunan kembali diharapkan terus terjadi pada 2024, dengan besaran angka 29,35 persen bisa tercapai.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait